Sabtu, 03 Mei 2014

What tears can't say....


Matamu masih menyisakan sembab bekas tangis semalam. Dia bilang kamu mengkhianatinya. Tapi kamu diam, antara membenarkan dan menyangkal. Dia bilang kamu menyakitinya, kamu masih diam. Dia tidak berhenti dan terus mencecarmu penuh amarah dan kecewa. Lalu diakhir dia melemah sedikit memelas, menyentuh jemari dinginmu, mencoba menuntun logikamu untuk memilih hidup yang seharusnya dan yang sebenarnya ingin kamu jalani.

Kamu menatap lurus kedalam bola matanya, berbicara gamblang lewat sendu senyap pandanganmu. Dia menghela nafas, berat. Genggamannya meregang dan lepas. Seketika hatimu menciut berselubung dingin tanpa kehangatan seperti ratusan malam sebelumnya.

Rasa terima kasih, permohonan maaf, perasaan bersalah, pengorbanan, pasrah serta kutukan tumpah bersama tiap bulir bening yang menggambar lajur - lajur sedih diwajahmu.

Dia bergumam, lupakan.
Kamu menjawab, bagaimana mungkin.
Dia membalas, semua mungkin buat kamu.
Kamu berkelit, bukan itu mauku.
Dia bertahan, aku sakit.
Kamu membela diri, aku lebih sakit.
Tapi kamu tetap memilih itu, Dia menyerah. Kamu terisak, bersalah. Maafkan aku, bisikmu lirih.

Matamu masih sembab oleh sisa tangis semalam. langkahmu gontai, memohon restu dalam ketidakinginanmu pada sosok wanita tua yang begitu sumbringah didepanmu. Dia membelaimu lembut dan berdoa: hiduplah bahagia selamanya.

Kamu kembali bercerita lewat derai - derai luka yang terkuak dari balik kelopak matamu. Cerita yang sesungguhnya dimengerti olehnya, namun harus diabaikannya demi janji masa remajanya bersama sanak saudaranya. Janji yang menjadi bagian dari adat yang tidak bisa kamu hindari lalu serta merta merenggut sebagian kebahagiaan hidupmu.

Kamu begitu enggan, namun langkahmu tiba tepat didepan altar. Pasrah dan menyerahkan ratusan hari indahmu, bersamanya, untuk diakhiri.

Tidak ada komentar:

Popular Posts