Minggu, 23 Juli 2017

PJDRS in mind


Deru suara musik memekakan telinga. Bagaimana tidak segala genre musik rasanya menyerobot bersamaan, berdesak mengisi gendang telinga. puluhan kafe berderet-deret serentak menyuarakan musik, menarik pelanggan.

seorang teman yang kuundang menghadiri bazar akhirnya memenuhi janjinya untuk datang. kupersilahkan duduk ditengah tetamu dan teman-temanku yang lain. obrolan mulai pecah, meski kerongkongan terasa sakit saat suara obrolan beradu keras dengan dentang musik.
Tak lama dia disana, sekejap ia permisi katanya ada teman yang harus diantarnya pulang.

Bazar makin ramai, aku dan teman-teman mulai menikmati riuh musik dan senda gurau diantara semilir angin malam dan sayup suara ombak yang pecah dikejauhan. Kupandang sekitar, kudapati temanku berkunjung kembali, senyumku pecah, kembali mengajaknya berbaur. Ia berbisik ditelingaku "ada yang ingin bertemu".
Penasaranku kambuh, kutengok sekeliling dan mataku tertuju  pada satu sosok yang juga tak asing, sedang mendekat dengan menyandang ransel dipundak.

Kita bertiga akhirnya kini berada dalam satu meja, bercerita apa saja yang terlintas. Terkadang tertawa atau diam saja untuk beberapa saat. Sejujurnya, ada rasa kikuk merasuk diam-diam dalam hati meski sekuat tenaga kupaksakan terlihat biasa saja. Kamu, teman lain yang ingin bertemu denganku secara tiba-tiba adalah kamu yang dulu pernah tak kuinginkan, tapi akhirnya kita pernah bersama, lalu kusesali dan terpisah, kemudian kurindukan bertahun-tahun lamanya. Kerinduan yang entah atas nama apa dan  masih kupertahankan hingga saat kita bertemu kembali ditengah bazar, dimalam yang riuh.

Kurasa kamu juga begitu, kesimpulan itu terlintas begitu saja. Sesekali mata kita bertemu namun tak satupun dari kita mampu mempertahankan pandangan itu lebih lama walau sekali lagi kita mencoba untuk terlihat wajar. Senyummu masih sama, sorot matamu masih menawan, dan kamu objek terindah yang kudapati di bazar itu.

Ada rasa yang terpuaskan diam-diam mengisi relung hati yang sedari tadi tak menentu. Dan kamu, aku rasa juga begitu. Maaf karena aku selalu saja menyamakan rasaku dan rasamu hanya dengan melihat ekspresi senyummu yang dulu sangat kukenali. Aku berani bertaruh!

Walau belum cukup waktu tuk melepas kerinduan tapi tak sekalipun aku mencoba menahan langkahmu saat kamu pamit pulang. Yah... itulah salah satu sikap wajar yang coba kutunjukkan padamu.

Kalian berdua berlalu. Malam seolah melahap punggung kalian dalam gelap. Dan keraibanmulah yang menyendukan malamku yang gempita. Aku berdiri mematung diambang harap, andai saja malam ini bisa lebih panjang. Akh...ini sebuah kebetulan atau menjadi awal yang baru. Aku tak tahu.

Aku mematung dalam gelap tanpa gempita musik bazar, tanpa semilir angin, tanpa deru ombak dikejauhan. Hanya ada malam yang tenang dengan gumulan kisah tentangmu pada belasan tahun lalu. Mataku jelas melihat keindahan malam itu meski tak lagi begitu rinci dalam sempurna. Namun, jemariku pelan menari diatas tuts mengabadikan kenangan kita yang terlintas.

Popular Posts