Kamis, 03 Oktober 2013

Loving You Always

Dulu, mama selalu memaksa menghabiskan makanan yang kuambil meski sudah kenyang.
Sekarang, aku tahu bahwa sebenarnya mama sedang mengajariku untuk tidak mubazir, menghargai setiap rezeki yang di peroleh dengan cara yang paling sederhana. Lewat sepiring nasi mama juga seolah berpesan agar aku belajar mengendalikan nafsu, mengambil seperlunya saja, sesuai yang aku butuh, bukan apa yang aku mau. Seringkali “mata” membuat kita merasa ingin memiliki semua apa yang terlihat olehnya tapi sedikit dari kita yang menyadari bahwa kita tengah terseret – seret oleh nafsu yang bergelayut pada indera kita, pada hati kita, pada diri kita. 

Dulu, diusia yang masih sangat belia, mama sudah membekaliku dengan jatah jajan bulanan tanpa boleh meminta tambahan pada siapapun.
Sekarang, aku mengerti, itu bukan karena mama pelit tapi mama ingin mengajariku bagaimana membelanjakan uang dengan bijak. Tanpa sadar akhirnya aku  bisa membedakan antara kebutuhan primer dan sekunder jauh sebelum aku mengenal istilah itu. Mamapun tak perlu menyogokku dengan celengan babi atau ayam agar aku mau menyisihkan sebagian uang jajanku karena aku sendiri yang diam-diam mencelengkan rupiah demi rupiah kedalam kaleng bekas, tempat bola tenis papa, demi camilan atau baju baru yang kuimpikan. 

Dulu, jari-jari kecil tanganku pernah diapitkan pensil di tiap selanya lalu mama meremasnya keras sampai tangisku menghentikannya.
Sekarang, aku tak pernah membenci mama bila mengikat itu kembali karena mama tak pernah menghukumku dengan keras bila kesalahanku masih bisa diredam dengan nasehat. Hukuman mama mengajariku tentang konsekuensi dari setiap perbuatan. Aku yang memilih, ingin konsekuensi seperti apa.

Dulu, mama mengajariku berbagai macam doa dan berdoa (baca: beribadah), tak peduli aku bisa menghafalnya dalam waktu singkat, atau melakukannya dengan konsisten.  
Sekarang, kurasakan betapa beruntungnya aku dibekali dasar-dasar agama oleh mama dan papa sejak dini. Hidup bukan melulu soal dunia, tapi juga soal mati (baca: akhirat). Hidup tidak selalu harus bertumpu pada "harta, tahta, 'wanita', dan jabatan" tapi juga pada "Tuhan". Jangan hanya pandai mengais rezeki tapi tidak tahu berzakat, pandai mengeluh tapi tak bisa bersabar, selalu meminta pada Tuhan (baca: Allah) tapi tidak pernah berterima kasih pada-Nya, menghafal semua jadwal "dunia" tapi tidak pernah ingat waktu "sujud" (baca:sholat), fasih berbagai bahasa tapi gagap saat mengaji, cinta pada ciptaan-Nya tapi lupa pada Sang Pencipta. Keseimbangan antara dunia dan akhirat itu perlu, bukankah sudah dikatakan dalam hadist bahwa kerjakanlah urusan duniamu seolah-olah kamu akan hidup selamanya dan kerjakanlah urusan akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok.
Dulu, mama pernah membentakku, saat aku menolak membantu membelikan sesuatu di warung karena takut dengan seorang temanku yang galak, yang rumahnya tak jauh dari rumahku.
Sekarang, aku faham, mama tak segalak teman yang kutakuti waktu itu. Sesungguhnya mama mengingatkankanku dalam bentakkannya untuk tidak pernah takut dengan siapapun selama aku benar dan tak berbuat hal yang salah dan merugikan orang lain. Jika aku lemah, berarti aku membiarkan orang lain merasa kuat atas diriku dengan alasan apapun. Jika aku takut, mungkin aku sedang memberi peluang pada orang yang merasa berani untuk menindasku, dan aku, meski tak nyaman, secara tak sengaja mengizinkan ketidakadilan itu pada diriku, tetapi mama, tidak menginginkan hal itu terjadi padaku.

Dulu, mama memberiku daftar tugas yang harus kuselesaikan di rumah.
Sekarang, aku merasa bahwa dulu, itu bukanlah sekedar pekerjaan tentang menyapu, mencuci piring, merapikan tempat tidur atau lainnya, tapi, mama menanamkan rasa toleransi, sosial, tanggungjawab, bakti dengan bahasa dan cara-cara yang mudah difahami oleh anak seusiaku.

Dulu, mama tak terihat sedih saat memutuskan memilih sekolah asrama untukku yang jaraknya enam jam perjalanan dari rumahku.
Sekarang, aku sadar sebagian besar bekal dari hidup yang kujalani saat ini kuperoleh di asrama itu. Suka, tidak suka, guru, teman, sahabat, kawan, lawan, belajar, main, rajin, malas, buku, novel, qur'an, hadits, rindu, sayang, cinta, benci, manja, tegar,semangat, mandiri, keras, lemah, lembut, marah, bijak, sabar, emosi, senyum, tawa, tangis, janji, ingkar, simpati, empati, tanggung jawab, sendiri, ramai, sakit, sehat, sopan, santun, nakal, jujur, bohong, takut, berani, kekang, bebas, susah, senang, hukuman, penghargaan, konsekuensi, semua hal tentang hidup dan semua hal yang akan di bawa selepas hidup kupelajari disana. Sendiri, terpisah dari keluarga sebenarnya tak lantas membuatku terabaikan, tetapi, sendiri, ditengah teman, guru dan sekitarku menjadikanku dewasa dan mandiri. Sudah lama sekali, sejak aku lulus dari sekolah kecil ditengah rimbun pepohonan bambu dan kebun-kebun yang jauh dari pemukiman warga, tapi pelajaran akan hidup yang kutempa disana selalu ada menemani di setiap hari-hariku. Asrama itu seperti dunia kecil tempat segala simulasi hidup dilakonkan. Dulu mungkin aku merasa sedih terpisah jauh dari keluarga, tapi sekarang aku bersyukur mama dan papa pernah menitipkanku untuk dididik disana.

Dulu, mama sering memintaku untuk menemani dan membantunya di dapur.
Sekarang, aku bisa masuk dapur sendiri tanpa ada atau dimainta oleh mama (baca: bisa masak sendiri). Secara tidak langsung mama menasehatiku bahwa perempuan bukan hanya sekedar berambut panjang, memakai rok, dan bersolek, tetapi juga harus pandai memasak. Perempuan modern bukan hanya soal kedudukan dan jawabatan penting dalam sebuah instansi atau institusi, tapi juga soal "inner beauty" dari segala aspek kewanitaan. Perempuan tidak akan terlihat rendah, ribet atau kotor saat menyingsingkan lengan baju, meracik aneka menu di dapur, sebaliknya ia akan terlihat hebat dan keibuan. Mungkin sebagian dari kita pernah bahkan sering menikmati berbagai cuisine  ala resto, mulai dari menu lokal sampai import, tapi akan selalu ada menu favorit yang kita rindukan dari dapur mama, yang mungkin dibuat hanya dari bumbu dan rempah sederhana. Yah...seperti itulah mama, selalu menciptakan kerinduan-kerinduan sederhana tapi penuh arti. Pernah menghitung berapa banyak pria yang memilih wanitanya berdasarkan pada kriteria "pandai memasak?" Yah... mungkin itu salah satu alasan mama sering mengajakku ke dapur, bukan sedekar bisa tapi harus pandai memasak minimal untukku, untuk keluargaku, kelak. 

Dulu, mama pernah protes atas penurunan nilai akademikku dengan sindiran halus, "kamu boleh punya pacar asal tidak mennganggu sekolahmu".
Sekarang, aku percaya, waktu itu mama bukan hanya sekedar mencoba memahami perkembangan emosi, jiwa dan perasaanku sebagai anak yang beranjak dewasa, sindiran itu sebagai peringatan untukku agar bisa menempatkan rasa dan asa pada tempat yang tepat dan semestinya. Cita dan cinta punya ruang dan waktunya sendiri-sendiri, kadang keduanya tak perlu dipaksakan untuk berjalan beriring karena ada saat salah satu dari mereka harus berjalan lebih dulu, ini soal prioritas. Tapi kadang masalah seperti itu bisa terselesaikan dengan apik, tapi itu butuh kematangan mental ataupun fisik saat akhirnya cita dan cinta bersanding bersama, berjalan bersisian pada satu arah dan tujuan yang sama.

Masih banyak cerita dan kisah bersama mama, and it's all beautiful :)


Dulu, aku boleh saja berpikir, mama suka marah, suka mengatur dan segala macam tentang pikiran dangkal anak kecil tapi sekarang, aku sadar betapa berharganya semua hal yang kuterima dari mama. Saat mama bersikap keras dan tegas padaku, bukan berarti mama ingin membuatku menangis dan bersedih, tapi air mata, kesal, dan marahku hanyalah proses agar aku mengerti kesalahan dan belajar dari kesalahan itu. Saat mama memeluk dan menghujaniku dengan pujian bukan berarti mama memanjakanku lebih dari yang lainnya, tapi senyum dan debar-debar bangga di dada yang kurasa saat itu adalah proses aku memahami seperti apa cinta dan kasih sayang itu dimulai, dibangun, diberikan dan diperlakukan. Dulu, aku boleh saja menganggap mama kolot, tapi sekarang, aturan-aturan mama yang kurasa ketinggalan zaman itu justru menjadi bekal dan dasar aku menjalani hari-hariku sebagai sosok yang dewasa. Dulu, aku mungkin sering kali merasa cemburu melihat teman-teman kecilku dengan mamanya yang tidak punya banyak aturan dan tuntutan, tapi sekarang, aku malah merasa bersalah telah menyesali didikan mama saat itu, sebaliknya aku bersyukur mama membiasakanku hidup dengan aturan dan tuntutan karena hidup yang kujalani sekarang pun tidaklah mudah. Aku beruntung memiliki mama seperti mamaku.

Bila nanti aku menjadi mama, mungkin banyak didikan beliau yang bisa kuadopsi.  (^_^)
Lalu kalian, seperti apa kalian akan mendidik anak-anak kelak? (It's depend on you).  (^_^)

Dan kalian, yang telah menjadi mama, bersyukurlah karena tak semua perempuan bisa bergelar mami, mama, ibu, emak, amak, inang atau bunda. Jadilah mama yang baik, mama yang penuh kasih sayang dan menginspirasi anak-anaknya.


Ya Allah terima kasih telah melahirkanku dari rahim seorang ibu yang bijaksana. Curahkanlah segala rahmat dan berkah-Mu padanya, berikanlah tempat dan derajat yang tinggi padanya. Limpahkanlah kesehatan dan umur yang panjang, hidup yang berkah dan manfaat padanya. Karunikanlah keindahan, kebahagian, dan keselamatan hidup padanya, dunia dan akhirat. Amin. Untukmu mama dan semua ibu di dunia, aku berdoa.

Thank you Mom, Loving you always.

Tidak ada komentar:

Popular Posts